gold krisan

sayapku yang dulu hendak rapuh, karena beberapa pias senja. tetapi kini, kembali tersadar, aku akan berbinar, tapi tentu tak kan gemerlap, bila kau tak bersama ku. sekarang. terimakasih untu kau yang kini mengisi babak baruku. terimakasih untuk semua.....

Selasa, 09 Agustus 2011


          CERPEN

SEKELUMIT KISAH ASIH



Tiang mewasta Wayan Nariasih.. Tiang asli Bali, Tabanan Marga.

       “Bapak. Dimana nasi untuk saiban ? kok enggak ada ?”
“Di beten saab. Alih gen”.
 Asih segera berlalu sembari meletakkan nampan bambu diatas meja, disudut ruang tengah.
       Hari ini, masih dalam hitungan hari libur.
Asih tetap melaksanakan berbagai macam kegiatannya. Menyapu, memasak, merawat kebun, tak lupa dengan mebanten.
Sebagai putri tunggal Bapak dan Ibu nya, Asih memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan kawan-kawan sebaya nya.
       Cantik, tubuh tinggi semampai, berotak cerdas, serta ulet dan tekun.
Segelintir sifat yang dapat menggambarkan Wayan Nariasih, anak semata wayang dari Made Jagra dan Nengah Sulini.
Banyak pemuda yang berusaha mendapatkan hati sang gadis Bali ini. Namun, si gadis, hanya memamerkan sederet gigi rapinya ketika disapa para pemuda, entahlah, simbol apa yang sedang tersirat diraut wajahnya.
       Ternyata, hidupnya tak sesempurna fisiknya.
Beban berat selalu menggelayuti pundak Asih.
       “Tamat SMA nanti, pasti tiang cuma nongos jumah. Buung tiang ke kota toh. Jauh harapan tiang dadi psikolog.” Curhat Asih pada salah satu sahabatnya.
Adi keto, Sih ? Ibu kan ngemang. Jangan dah tu pikir.” Yastini akhirnya menimpali.
“Ibu setuju gen. Bapak……” nada Asih melemah.
Hyang Widhi punya jalannya, Sih.” Tutup Yastini.
       “Jangan! Sekali enggak tetep enggak. Suud ngelawan rerama.”
Begitu keras prinsip Bapak, sampai Asih bahkan ibu pun tak berdaya.
“Tapi Pak, Asih punya cita-cita. Sekarang jaman udah maju. Gadis Bali, tamat SMA bukan untuk di dapur. Tapi megae Pak, berkarier. Berlomba-lomba jadi orang sukses.
Percuma sekolah kanti SMA, kalau ujungnya ngaet bawang, kesuna, tabia.”
“Bapak tau yang terbaik. Asih cukup di rumah. Jangan mileh-mileh pesu. Masak, nyampat, mejaitan. Keto arus ne.
Berkarier cuma untuk dikota. Kita hidup didesa. Cukup disini aja. “
“ Pak ! enggak adil ini namanya. Hidup dan besar, memang di desa. Tapi peruntungan, bisa dicari di kota. Asih cuma belajar disana. Kuliah.
Astungkara langsung dapet kerja. Enggak mungkin Asih engsap sama Bapak, Ibu.”
Bapak memilih pergi. Tidak mengindahkan airmata Asih yang sudah hampir mongering di pipinya.
Asih memandang lesu punggung Bapak yang semakin jauh, dan menghilang dibalik pohon.
       Pengumuman sudah tersebar luas.
Seluruh siswa kelas XII di sekolah tempat Asih belajar ternyata lulus Ujian Nasional. Semua bersukacita. Tak terkecuali Asih, ia tetap berdiri teguh pada keyakinannya untuk mulai kuliah di kota. Rupanya keinginan tak mampu ia bendung lagi.
“Terserah apa kata Bapak, yang penting tiang berangkat.” Satya Asih dalam hati.
       Wajah Asih berubah pucat, ketika mendapati Bapak tertidur lemas diatas ranjangnya.
“Setelah kamu berangkat sekolah, Bapak langsung ke kamar, Sih. Katanya kenyel. Makanya langsung tidur. Tadi siang, Ibu bangunin, ternyata badan Bapak panas sekali. Kata Bli Rantun, Bapak kena gejala demam berdarah.
Ibu takut, Sih….”
Asih tak mampu berujar apapun menanggapi perkataan Ibu.
Hasil ujiannya pun urung ia bagikan.
       “Bapak sakit, Tin.”
“Iya, Sih. Kemarin Bapakku cerita. Dari kapan sih ?”
“Udah dari tiga hari yang lalu. Lagi panes, lagi dingin. Aku enggak ngerti, Tin. Penyakit Bapak aneh. Perasaanku enggak enak.”
“Tiga hari yang lalu…….tunggu dulu….” Yastini menghentikan suaranya.
Beberapa saat kemudian, ia segera melanjutkannya, “Apa Bapakmu kena cetik ? biasa….. gae leak.” suara Yastini mengecil. “Kamu inget, Sih. Pak Gotra. Kata Bapak ku, dia lagi nyoba ilmu barunya. Jangan-jangan Bapakmu malah jadi sasarannya. Apalagi masalah sengketa tanah abian disamping Pura Dalem itu. Pak Gotra kan iri banget sama Bapakmu, Sih.”
       Pernyataan Yastini siang tadi, selalu membayangi pikiran Asih. Pernyataan itu selalu berulang-ulang dalam kedipan memorinya.
“Apa yang harus tiang lakukan, Hyang Widhi ?” Tanya Asih lirih.
       Isak tangis menyeruak berteriak pilu.
Membahana disetiap alur udara seisi pekarangan rumah Asih. Kemarin malam tubuh Bapak sudah kaku.
 Ibu hanya terduduk sedih, sambil mengelus gelang tridatu nya.
“Begitu cepat Bapak pergi, Sih. Bapak belum sempat liat rapot mu. Gimana ini ?”
Asih hanya diam. Tanpa ekspresi yang berarti.
Wajah cantiknya tertutup mendung tebal kesedihan siang ini. Yastini terus menggenggam tangan Asih.
Terlalu sedih Asih, hingga tak ada lagi airmata yang tersisa.
Lagi-lagi Pak Gotra menjadi isi otaknya.
“Apa bener ? Pak Gotra ? kenapa semua orang bilang gitu ? Lewat ilmu hitam”
“Mungin saja……’nak Bali sakti-sakti
       Selang dua bulan setelah kepergian Bapak. Asih mengutarakan kembali niatnya.
“Ibu…..Asih mau…”
“Pergilah, Sih. Ke kota kuliah. Melajah ne beneh. Mulih-mulih inget ngaba pipis. Jangan lupa, gelar sarjana.” Terang Ibu.
Asih tak mampu mengucapkan rasa terimakasihnya.
Ia memeluk erat tubuh Ibunya. Seperti tak ingin melepasnya.
       Wayan Nariasih, S.Psi. rupanya sudah terwujud.
Sudah hampir lima tahun ia meninggalkan kampung halamannya.
Kini Asih sudah mampu menjadi apa yang di inginkannya.
Cukup termashyur sudah nama Asih. Bersama satu rekannya, Asih berhasil membuka praktek pribadi disekitar wilayah Teuku Umar Denpasar.
Dengan penghasilan yang lebih dari cukup, ia pun akhirnya menjemput Ibu di kampung.
       “Marga. Tempat dimana tiang dilahirkan. Tempat dimana tiang besar dan mengemban ilmu. Marga. Tempat dimana tiang harus rela kehilangan Bapak, karena hal yang tak wajar. Sudahlah…..Pak Gotra sudah dapat balasannya.
Yastini. Timpal terbaik.
Selamat tinggal Marga. Selamat datang kota Denpasar.”

Oleh:
Sagung Dwi Adnyaswari (XI IPA 4)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar