gold krisan

sayapku yang dulu hendak rapuh, karena beberapa pias senja. tetapi kini, kembali tersadar, aku akan berbinar, tapi tentu tak kan gemerlap, bila kau tak bersama ku. sekarang. terimakasih untu kau yang kini mengisi babak baruku. terimakasih untuk semua.....

Selasa, 09 Agustus 2011


RESENSI
DARI MATA, LIDAH, TURUN KE HATI
Judul          : 60 Dessert dan Minuman Anti Gagal  
Penulis       : Fatmah Bahalwan dan Tim NCC
Penerbit     : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan     : Jakarta, Juli 2011
Tebal          : x + 138halaman ; 17x21cm
Harga         : Rp. 68.000,-

          Memasak. Merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi sebagian orang, bahkan menurut beberapa individu, memasak malah suatu kegiatan yang menyulitkan. Keberhasilan memasak bukanlah dilihat dari segi bakat seseorang, tetapi dari niat dan keinginan untuk terus mencoba.
Buku kumpulan 60 Dessert dan Minuman Anti Gagal ini akan mampu membimbing anda yang gemar memasak, ataupun mereka yang mencoba mulai memasak.
          Seperti kutipan judulnya yang “anti gagal”, Fatmah Bahalwan dan Tim NCC berusaha menghimpun berbagai jenis makanan penutup (dessert) menarik untuk para konsumen diberbagai kalangan umur.
          Ditinjau dari segi redaksional, nuku resep ini sangat mudah untuk langsung dipraktekkan, karena takaran dan cara pembuatan satu menu dessert sangat dijelaskan secara terperinci. Untuk para pemula pun tidak akan rugi membuka halaman demi halaman buku ini.
Mulai dari berbagai jenis pudding, bubur, kolak, wedang, dan jus, berhasil mengisi ke-138 halaman.
Resep dalam memilih bahan, alat, bahkan tekhnik dalam pembuatan pun turut dicantumkan di halaman awal. Jenis menu dessertnya merupakan resep asli nusantara.
Dengan judul resep yang kreatif, menambah selera konsumen untuk mencobanya.
          Dilihat dari segi artistic, buku berukuran 17x21cm ini bersampul depan berwarna merah marun, dilengkapi enam cuplikan gambar menarik hasil resep, discover depan.
Dari halaman pertama hingga akhir dilengkapi warna-warni cerah. Setiap hasil resep, selalu dilengkapi gambar menarik.
Dengan font berwarna hitam, semakin memperjelas bentuk tulisan, setiap judul dibubuhi warna oranye dan hijau.
          Setiap hasil karya, tak lekang dari sisi kekurangan.
Begitu pula dengan menu dessert seharga Rp.68.000,- ini. Disetiap akhir menu, kurang dilengkapi tips-tips agar hasil menu lebih maksimal, (gunakan api kecil saat memanaskan santan dan jangan lupa diaduk, agar santan tidak pecah)
Takaran yang tercantum, tidak memberikan jumlah porsi disetiap menu.
Tidak ada alternative pengganti bahan, jika bahan tersebut sulit diperoleh.
          Meskipun demikian, kumpulan resep ini sangat membantu untuk memperoleh hasil maksimal dalam pembuatan dessert.
Pesan penulis untuk para konsumen, “Janganlah takut untuk mencoba. Memasak tidak pernah gagal, hanya kurang pengalaman dimeja dapur.”
Oleh:
A A Sagung Dwi Adnyaswari
XI IPA 4

ESSAY
Tema : Kehidupan sosial
PERALIHAN SEBUAH PERUBAHAN
          Di dalam sebuah kehidupan, tentunya manusia tak akan pernah lepas dari masalah, ujian, bahkan perubahan. Tapi disini, masalah dan ujian sudah barang tentu dapat diterima dan dilalui dengan teknik masing-masing individu.
Sedangkan suatu perubahan, masih ada sosok yang belum dapat mengatasinya.
Ini lah salah satu sudut yang terpatri di dalam sebuah kehidupan.
          Dari si miskin, menjadi si kaya. Dari itik yang buruk rupa, menjadi angsa yang anggun. Dari debt kolektor  jalanan, menjadi super visor ruangan.
Suatu hal yang membanggakan.
          Dari manager, menjadi staf gudang. Dari wakil rakyat, jadi pengangguran. Dari pelukis, jadi pengemis.
Suatu hal yang memilukan.
          Mayoritas mereka menyadari suatu keadaan dapat berubah sewaktu-waktu tanpa mengetuk hati si empu nya.
Roda kehidupan memang tak hentinya berputar. Mereka yang berdiri di puncak, suatu ketika akan terjerembab pula ke titik dasar. Sebaliknya, mereka yang ternoda dalam tekanan, dapat melipat kedua tangannya di dada.
          Manusia hanyalah artis dan aktor  bawahan Tuhan. Beliau lah sutradaranya.
Tak perlu berbangga hati berlebihan bila mendapat sesuatu yang mengesankan. Tak perlu menangis berlutut saat menerima kenyataan pahit.
Semua yang didapat hanya perlu di syukuri. Tuhan akan memberi masalah yang mampu di pecahkan.
          Mereka yang sudah terbiasa bekerja serabutan, suatu saat akan menikmati pula bekerja kantoran. Pramuniaga 24jam, suatu saat mampu menjadi owner. Pegawai swasta dengan gaji tak seberapa, suatu saat menikmati setelan baju dinas pegawai negeri. Itu hanyalah masalah waktu, tempat, kesempatan, dan tak lupa, “hukum karma”
          Jangan heran bila suatu ketika mendapati seorang gelandangan yang dulunya konglomerat. Jangan ternganga bila melihat lulusan S2 berdagang nasi jinggo di emper toko.
Semua telah diatur sedemikian rupa sesuai porsi.
          Mulailah menjadi seseorang yang biasa-biasa saja.
Jiwa ambisi yang besar, tak akan mendatangkan rejeki yang berlimpah. Perbanyaklah bersyukur dibanding mengeluh.
Sangat disayangkan, kehidupan yang indah ini, hanya di isi oleh banyak penyesalan karena sebuah perubahan yang terbilang masalah kehidupan biasa.
Setiap titik, pasti akan mengalami perubahan. Baik itu perubahan positif ataupun negatif. Jangan takut pada perubahan. Itu hanya siklus biasa.
Siapkan tenaga dan mental anda, untuk suatu perubahan yang akan anda alihkan dengan kemampuan pribadi.

Oleh:
A A Sagung Dwi Adnyaswari
XI IPA 4


          CERPEN

SEKELUMIT KISAH ASIH



Tiang mewasta Wayan Nariasih.. Tiang asli Bali, Tabanan Marga.

       “Bapak. Dimana nasi untuk saiban ? kok enggak ada ?”
“Di beten saab. Alih gen”.
 Asih segera berlalu sembari meletakkan nampan bambu diatas meja, disudut ruang tengah.
       Hari ini, masih dalam hitungan hari libur.
Asih tetap melaksanakan berbagai macam kegiatannya. Menyapu, memasak, merawat kebun, tak lupa dengan mebanten.
Sebagai putri tunggal Bapak dan Ibu nya, Asih memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan kawan-kawan sebaya nya.
       Cantik, tubuh tinggi semampai, berotak cerdas, serta ulet dan tekun.
Segelintir sifat yang dapat menggambarkan Wayan Nariasih, anak semata wayang dari Made Jagra dan Nengah Sulini.
Banyak pemuda yang berusaha mendapatkan hati sang gadis Bali ini. Namun, si gadis, hanya memamerkan sederet gigi rapinya ketika disapa para pemuda, entahlah, simbol apa yang sedang tersirat diraut wajahnya.
       Ternyata, hidupnya tak sesempurna fisiknya.
Beban berat selalu menggelayuti pundak Asih.
       “Tamat SMA nanti, pasti tiang cuma nongos jumah. Buung tiang ke kota toh. Jauh harapan tiang dadi psikolog.” Curhat Asih pada salah satu sahabatnya.
Adi keto, Sih ? Ibu kan ngemang. Jangan dah tu pikir.” Yastini akhirnya menimpali.
“Ibu setuju gen. Bapak……” nada Asih melemah.
Hyang Widhi punya jalannya, Sih.” Tutup Yastini.
       “Jangan! Sekali enggak tetep enggak. Suud ngelawan rerama.”
Begitu keras prinsip Bapak, sampai Asih bahkan ibu pun tak berdaya.
“Tapi Pak, Asih punya cita-cita. Sekarang jaman udah maju. Gadis Bali, tamat SMA bukan untuk di dapur. Tapi megae Pak, berkarier. Berlomba-lomba jadi orang sukses.
Percuma sekolah kanti SMA, kalau ujungnya ngaet bawang, kesuna, tabia.”
“Bapak tau yang terbaik. Asih cukup di rumah. Jangan mileh-mileh pesu. Masak, nyampat, mejaitan. Keto arus ne.
Berkarier cuma untuk dikota. Kita hidup didesa. Cukup disini aja. “
“ Pak ! enggak adil ini namanya. Hidup dan besar, memang di desa. Tapi peruntungan, bisa dicari di kota. Asih cuma belajar disana. Kuliah.
Astungkara langsung dapet kerja. Enggak mungkin Asih engsap sama Bapak, Ibu.”
Bapak memilih pergi. Tidak mengindahkan airmata Asih yang sudah hampir mongering di pipinya.
Asih memandang lesu punggung Bapak yang semakin jauh, dan menghilang dibalik pohon.
       Pengumuman sudah tersebar luas.
Seluruh siswa kelas XII di sekolah tempat Asih belajar ternyata lulus Ujian Nasional. Semua bersukacita. Tak terkecuali Asih, ia tetap berdiri teguh pada keyakinannya untuk mulai kuliah di kota. Rupanya keinginan tak mampu ia bendung lagi.
“Terserah apa kata Bapak, yang penting tiang berangkat.” Satya Asih dalam hati.
       Wajah Asih berubah pucat, ketika mendapati Bapak tertidur lemas diatas ranjangnya.
“Setelah kamu berangkat sekolah, Bapak langsung ke kamar, Sih. Katanya kenyel. Makanya langsung tidur. Tadi siang, Ibu bangunin, ternyata badan Bapak panas sekali. Kata Bli Rantun, Bapak kena gejala demam berdarah.
Ibu takut, Sih….”
Asih tak mampu berujar apapun menanggapi perkataan Ibu.
Hasil ujiannya pun urung ia bagikan.
       “Bapak sakit, Tin.”
“Iya, Sih. Kemarin Bapakku cerita. Dari kapan sih ?”
“Udah dari tiga hari yang lalu. Lagi panes, lagi dingin. Aku enggak ngerti, Tin. Penyakit Bapak aneh. Perasaanku enggak enak.”
“Tiga hari yang lalu…….tunggu dulu….” Yastini menghentikan suaranya.
Beberapa saat kemudian, ia segera melanjutkannya, “Apa Bapakmu kena cetik ? biasa….. gae leak.” suara Yastini mengecil. “Kamu inget, Sih. Pak Gotra. Kata Bapak ku, dia lagi nyoba ilmu barunya. Jangan-jangan Bapakmu malah jadi sasarannya. Apalagi masalah sengketa tanah abian disamping Pura Dalem itu. Pak Gotra kan iri banget sama Bapakmu, Sih.”
       Pernyataan Yastini siang tadi, selalu membayangi pikiran Asih. Pernyataan itu selalu berulang-ulang dalam kedipan memorinya.
“Apa yang harus tiang lakukan, Hyang Widhi ?” Tanya Asih lirih.
       Isak tangis menyeruak berteriak pilu.
Membahana disetiap alur udara seisi pekarangan rumah Asih. Kemarin malam tubuh Bapak sudah kaku.
 Ibu hanya terduduk sedih, sambil mengelus gelang tridatu nya.
“Begitu cepat Bapak pergi, Sih. Bapak belum sempat liat rapot mu. Gimana ini ?”
Asih hanya diam. Tanpa ekspresi yang berarti.
Wajah cantiknya tertutup mendung tebal kesedihan siang ini. Yastini terus menggenggam tangan Asih.
Terlalu sedih Asih, hingga tak ada lagi airmata yang tersisa.
Lagi-lagi Pak Gotra menjadi isi otaknya.
“Apa bener ? Pak Gotra ? kenapa semua orang bilang gitu ? Lewat ilmu hitam”
“Mungin saja……’nak Bali sakti-sakti
       Selang dua bulan setelah kepergian Bapak. Asih mengutarakan kembali niatnya.
“Ibu…..Asih mau…”
“Pergilah, Sih. Ke kota kuliah. Melajah ne beneh. Mulih-mulih inget ngaba pipis. Jangan lupa, gelar sarjana.” Terang Ibu.
Asih tak mampu mengucapkan rasa terimakasihnya.
Ia memeluk erat tubuh Ibunya. Seperti tak ingin melepasnya.
       Wayan Nariasih, S.Psi. rupanya sudah terwujud.
Sudah hampir lima tahun ia meninggalkan kampung halamannya.
Kini Asih sudah mampu menjadi apa yang di inginkannya.
Cukup termashyur sudah nama Asih. Bersama satu rekannya, Asih berhasil membuka praktek pribadi disekitar wilayah Teuku Umar Denpasar.
Dengan penghasilan yang lebih dari cukup, ia pun akhirnya menjemput Ibu di kampung.
       “Marga. Tempat dimana tiang dilahirkan. Tempat dimana tiang besar dan mengemban ilmu. Marga. Tempat dimana tiang harus rela kehilangan Bapak, karena hal yang tak wajar. Sudahlah…..Pak Gotra sudah dapat balasannya.
Yastini. Timpal terbaik.
Selamat tinggal Marga. Selamat datang kota Denpasar.”

Oleh:
Sagung Dwi Adnyaswari (XI IPA 4)