gold krisan

sayapku yang dulu hendak rapuh, karena beberapa pias senja. tetapi kini, kembali tersadar, aku akan berbinar, tapi tentu tak kan gemerlap, bila kau tak bersama ku. sekarang. terimakasih untu kau yang kini mengisi babak baruku. terimakasih untuk semua.....

Minggu, 27 Maret 2011

ESSAY

TEMA:
 Aktualisasi Diri Dengan Nilai-Nilai Humaniora Dikalangan Pelajar

“DIMENSI DUA RUANG”

            Para remaja yang masih berstatus pelajar, tentunya tak jauh dari proses pembelajaran. Dimana berbagai pembelajaran itu mengedepankan banyak tuntutan berbagai jenis sub.bidang ilmu.
Kerap kali ilmu tersebut tidak dikemas sedemikian rupa efisiennya untuk dipelajari. Sama halnya dengan ilmu eksak yang menggunakan metode konvensional dalam pembahasannya, ilmu humaniora pun memiliki wadah penting yang layak untuk diterapkan dengan metode kreatif.
Sejatinya, kedua ilmu itu harus berjalan berdampingan didalam individu setiap para pelajar.
            Tak dipungkiri, ilmu eksak memang sangat utama untuk prospek kedepannya. Beberapa keahlian menuntut para ahlinya untuk mampu memahami ilmu eksak tersebut.
Banyak pemikiran yang beranggapan bahwa, “saat seseorang mendalami suatu ilmu. Lambat laun sifat dari ilmu itu akan mempengaruhi pemikirannya.”
            Cenderung para pelajar yang kini lebih memilih untuk menekuni ilmu eksak, memiliki pola piker dan perangai yang sedikit berbeda dengan pelajar yang memilih untuk menekuni ilmu humaniora.
            Pelajar penikmat ilmu eksak, tampak lebih individualis. Pola pikirnya berpacu dengan penguasaan logika. Setiap pendapatnya, berdasarkan fakta-fakta terekomendasi. Sedikit persentasenya untuk mengungkapkan pendapat berdasarkan alur hati nurani. Mereka lebih memilih untuk berpatokan pada aturan ketat yang berlaku. Pelajar ilmu eksak pun lebih asyik, menikmati suatu titik rumit, diantara titik-titik rumit lainnya. Mereka duduk dengan alis berkerut, memantau atau sesekali menyambung titik itu menjadi garis, kemudian membentuk sebuah bidang.
“mempelajari ilmu eksak untu sekarang sangat penting. Ini karena tuntutan jaman.” Seuntai penggalan kalimat seorang pelajar, ketika hendak dihadapkan pada ilmu eksak dan ilmu humaniora.
            Kini. Berbeda halnya dengan beberapa pelajar yang lebih memilih untuk mendalami ilmu humaniora. Ilmu ini memang lebih sedikit peminatnya. Tetapi, mampu membentuk karakteristik berbeda. Pelajar yang memilih ilmu humaniora, mayoritas memiliki pemikiran luas dan sosial, juga mengglobal. Mereka memiliki nilai peka terhadap lingkungan sekitar lebih tinggi, dibandingkan pelajar ilmu eksak. Perilaku dan pemikirannya pun cenderung dewasa. Wawasan tentang dunia luar yang bersifat politik, hukum, sosial, budaya, bahasa, filsafat, agama, ekonomi, sosiologi, dan sejarah pun mampu terjamah oleh lipatan otak para pelajar humaniora. Mereka bebas berpendapat, sesuai dengan apa yang telah berkembang dimasyarakat, menjamur, dan mengkolaborasikannya pada opini mereka secara individu. Penyaringan unsur moral yang tentunya bersifat logis, mewarnai setiap argumennya. Ilmu-ilmu yang mereka dapatkan, yang tentunya mengandung unsur humaniora, membantu para pelajar humaniora untuk lebih membuka mata, telinga, juga hati, pada fenomena luar yang terjadi.
”karena dalam hidup ini pelajaran mengenai hidup lebih penting dibandingkan pelajaran ilmu pasti. Namun tidak mengetahui caranya untuk mensosialisasikan ilmu-ilmu pasti tersebut. Disamping itu ilmu humaniora selalu berdampingan dengan kehidupan sehari-hari” Begitu bijak pendapat pelajar pengagum humaniora ini.
            Tampak begitu sinkron perbedaan diatara kedua kutub yang terbatas benteng tipis. Persepsi ini harus segera dimodifikasi. Ilmu eksak untuk saat ini, menduduki peringkat pertama dalam pemenuhannya. Tidak ada tanda tanya lagi untuk pernyataan tersebut. Pelajar dituntut lulus dengan nilai maksimal pada beberapa mata pelajaran ilmu eksak. Tetapi, apa artinya bila penekunan ilmu eksak, tak termotivasi dari ilmu humaniora. Bagamana bisa, ilmu eksak dapat berjalan sebagaimana bijak, jika tidak diterapkan dengan unsur ilmu humaniora yang dapat mengimbanginya.
Begitu halnya dengan ilmu humaniora. Ilmu ini akan terasa datar, bila tak menemui tantangan seperti saat ditemui di ilmu eksak.
Dapat disimpulkan, ilmu eksak dan ilmu humaniora yang merupakan satu tempat kendungan, tak akan pernah bisa berjalan sendiri, karena darah yang mengalir menjadi satu mengaliri nadi untuk mendenyutkan jantung diantara kedua ilmu penting ini.
            Seiring berkembangnya sang jaman. Ilmu eksak lebih menarik minat para pelajar, ketimbang ilmu humaniora. Mungkin, ditelinga mereka, kata ”eksak” lebih lumrah bila dibandingkan dengan kata ”humaniora”.
Karena itulah, timbul kesenjangan alih fungsi antara ilmu eksak dan ilmu humaniora.
Banyak pelajar yang memberikan posisi bawah pada ilmu humaniora. Ilmu ini seakan mampu terkalahkan dengan ilmu eksak yang banyak digandrungi.
Tempat bimbingan belajar, tentunya mencanangkan program khusus lebih ekstra untuk membina dibidang ilmu eksak. Nyaris tak pernah ditemui, seorang pelajar mendatangkan seorang guru privat untuk mengajarkan nilai humaniora, apalagi untuk mendatangin bimbingan belajar.
            Ilmu humaniora berawal dari berbagai teori, tentang memanusiakan manusia, memberikan perlakuan pada keadaan sekitar dengan bijak, ataupun mempelajari keadaan sosial yang beragam.
Karena kurangnya perhatian pelajar tentang ilmu humaniora yang tentunya sangat penting untuk tuntunan dalam melangkah, perilaku pelajar pun tak urung menyimpang.
Seperti halnya di Bali. Tradisi ”menyama-braya” atau sekedar ”ngejot”, saat upacara keagamaan, lama-kelamaan mungkin akan terseret arus, karena kurangnya peran pemahaman tentang nilai-nilai luhur humaniora.
Tak hayal, akan terbentuk, beberapa kelompok kecil, yang sifatnya individu, sulit berbaur, layaknya penyandang ”autis” parahnya, kurang memberi rasa percaya pada orang disekitarnya. Kembali karena nominal nilai humaniora sangat minim.
            Bila ditelah lebih jauh. Nilai humaniora yang kadarnya kecil, sangat memungkinkan terjadi pertengkaran, perselisihan, perbedaan pendapat, persaingan, pro dan kontra yang tak dapat dipisahkan, kesalahan komunikasi atau pemahaman, bahkan kontak fisik yang fatal pun dapat terjadi.
            Tak akan lengkap bila dalam hidup, nilai humaniora tak ter-realisasikan. Hambar terasa berbagai sistem yang telah ditetapkan, jika tidak dilengkapi dengan nilai-nilai luhur yang turut membangun sistem akurat tersebut.
            Banyak manfaat yang didapat, tentunya saat pelajar, tak hanya memberikan perhatiannya pada ilmu eksak saja. Mulailah mencoba untuk melirik ilmu humaniora yang nilai-nilainya sangat mudah dikembangkan, demi kemajuan, termasuk menyelaraskan ilmu eksak yang terbilang kaku, memaksa, serta mengikat.
            Pengamalannya ilmu humaniora, sesungguhnya telah terjadi tanpa disadari para pelajar. Hanya saja pengakuannya yang belum seakurat ilmu eksak. Tetapi, yakinlah, ilmu humaniora jauh lebih mudah mengikuti alur jaman, bilan dibandingkan dengan ilmu eksak. Hal ini beralasan karena, ilmu humaniora menghasilkan berbagai nilai yang tak jauh dari kehidupan sehari-hari.
            Bila ilmu humaniora seorang pelajar dapat berkembang mengikuti jalan hidupnya, niscaya ilmu eksak pun dapat merasukinya dengan pemilihan pola pikir, dan tingkah laku yang selayaknya.
Mereka akan dipermudah dengan pemecahan masalah dengan tingkatan kedewasaan, saat masa pencarian jati diri, para pelajar tak akan terjerumus pada hal negatif. Sama halnya ketika terjadi perselisihan, remaja dengan bijaknya dapat melerai perselisihan tersebut menjadi satu tujuan. Mencakup dalam memilih suatu keputusan diantara banyak keputusan, nilai humaniora menempati rating atas dalam fungsinya. Memahami diri sendiri, keluarga, teman, lingkungan sekolah, bahkan masyarakat luas, akan terasa nyaman serta aman, bila berlandaskan pada nilai humaniora yang universal dan fleksibel.
            Satukan jemari, mulailah mengerti pada arti hidup ini. Tak akan ada yang kekal abadi. Itu hanya masalah waktu, tempat, dan kesempatan. Banyaklah mengerti, kini, esok, hingga nanti. Hanya nilai humaniora yang akan abadi.
           
cerita pendek. . . . . .


"HANYA UNTUK INDAH"


            Embun menetes perlahan melalui celah daunku. Dingin menusuk setiap ranting jiwaku. Angin pagi ini menggelayutkan kelopak cerahku. “kemana Melati ? bukankah seharusnya ia lebih awal bersorak ?” gumamku perlahan.
            Tuan Matahari telah menuaikan tugasnya membantuku siang ini. Tinggal ku tunggu majikan memberiku sepercik air segar pada akar ku.
            “hai Jepun ........” sapa Anggrek padaku yang tengah termangu. “hai juga....” sambutku lesu. “Anggrek. Apa kau dapat melihat Melati ? mengapa dari tadi tak ku temukan ? hanya batang kecilnya yang siap merekah. Bukankah ia sudah semerbak hari ini ?” kembali tanyaku terlontar. “ohh.... untuk itu. Memang sedari tadi aku pun tak mencium aromanya yang khas. Mungkin kemarin, ketika gelap, ia sudah terpetik majikannya. Sudahlah, untuk apa kau pikirkan teman kotormu itu. Hidupnya jauh dibawah. Terlunta pula. Lihatlah diriku yangbersih ini, jauh dari debu.” Jawab Anggrek angkuh, yang sama sekali tak melegakan Jepun. “baiklah. Mungkin memang benar.” Sambung Jepun  tertunduk lesu.
Pembicaraan mereka pun berakhir, ketika sang majikan memberi Anggrek vitaminnya.
            Disuatu senja yang memang sedikit mendung. Nampak Alamanda membuyarkan lamunan Jepun.
“kamu kenapa ? aku perhatiin, akhir-akhir ini jadi murung ?” ”Oh... tak apa. Aku hanya heran. Kemana sahabatku Melati ? bentuk kelopaknya tak dapat kutemui sejak empat hari yang lalu. Aku yakin, ia belum saatnya untuk dipetik” ” hhmm..... ternyata hal ini yang mengganggu pikiranmu. Sayangnya aku baru saja ganti pot hari ini. Maka jangan heran, karena aku tak dapat mengenali Melati, sahabatmu itu.” ”iya.. sudahlah. Tak apa.” tandas Jepun lemah.
            Hari terus berganti. Sudah berapa pucuk jepun yang tumbuh, sudah berapa kelopak yang terganti. Namun, tak pernah lekang dalam ingatannya. Tentang Melati. Sahabat yang sangat disayanginya itu.
            Jepun dan Melati merupakan satu kesatuan yang tak akan terpisah. Mereka saling melindungi dan melengkapi. Tak pernah kosong hari mereka. Mereka selalu mewarnai taman dengan kasihnya. Hidup berdampingan dan saling mengagumi.  Tapi kini berubah dengan sekejap. Semua sirna tanpa tujuan yang jelas. Melati hilang entah menuju fana mana, meninggalkan Jepun penuh tanya.
            Hingga suatu ketika. Nyonya Hujan sangat dermawan membagi bias-biasnya pada kaum bunga. Pak Angin pun menyumbangkan bayunya. Semua bersatu padu meniupkan pesona taman siang itu. Hiruk-pikuk menggema. Tak terkecuali Jepun. ”sungguh senangnya Nyonya Hujan siang ini. Tetapi ini lebih dari menyiksa. Oh tidak ! kelopakku gugur terbang dan menghilang !” pekik Krisan.
            Bunga-bunga lain turut meronta. Banyak dahan-dahan yang terputus. Bagai terombang-ambing dilaut lepas.
Lain halnya dengan Jepun. Ia tetap bertahan, walau daunnya yang tak bersalah lenyap diterpa Ibu Badai. Rantingnya tak sedikit yang patah. Namun tetap dalam benaknya tersirat, ”bagaimana denganmu Melati ? apa ada yang ’kan melindungimu saat ini ? andai kita bersama, kan ku raih kelopakmu, kita ’kan bersama melewati alur dengan Ibu Badai sebagai pilotnya. Andai kau dengar rintihan kekhawatiranku, dapatkah kau kembali disini.” Jepun tetap menggumam, walaupun terus berusaha menahan pedih karena terantuk Paman Kerikil.
            Akhirnya Ibu Badai, Nyonya Hujan, dan Pak Angin, kembali pada singgasananya semula.
Taman ini tampak hancur. Tak ada satupun bunga yang utuh. Perih.
            Mentari kembali hangatkan bumi. Sehari setelah Ibu Badai mengerang ganas.
            Kembali pada tokoh Melati, para pembaca.
Ia baik-baik saja. Sama sekali tak terganggu pada kemarahan Ibu Badai. Ia aman. Namun, ada yang menggores hatinya, ketika mengetahui tempat persemayamannya dulu terkena musibah tragis.
            Ketika ia hendak kembali pada taman kecilnya dulu. Langkahnya terhenti. Tertunduk, lesu, gemercik air mata menyadarkannya.
Ia tak mampu menopang kelopak kecilnya, ketika sebuah kelopak yang sama  kecilnya, usang, yang kian layu, nyaris hangus terbakar Tuan Matahari.
”Jepun....” katanya lirih. ”kamu......”sambungnya pedih.
” maafkan aku yang pergi tanpa pamit. Kau tahu sendiri. Aku bisa apa ? aku tak berdaya, ketika mereka memindahkan ku pada taman diujung kota sana. Selama ini aku tak punya waktu untuk menemuimu. Sampai kejadian ini merenggutmu, sahabatku. Maafkan aku yang terkadang egois. Maafkan ketidak sempurnaanku yang tak mampu mengimbangi kesempurnaan mu yang tulus, lembut, suci, indah, sederhana, dan tak banyak mengikat. Sedangkan aku. Aku hanya bunga tanah yang meminta perlindunganmu, kawan. Aku tak semegah Anggrek bagai berlian ditengah taman.
 Aku memiliki teman yang sama indahnya denganmu. Krisan namanya. Ia selalu melindungiku. Sama seperti dirimu dulu. Kelopaknya memang lebih besar, dari kelopakmu. Tapi cahayamu, jauh lebih terang didalam hati ini. Pelitamu takkan ada yang mengganti. Terimakasih untuk semua Jepun. Kini tenanglah dengan tunas barumu yang segera ditanam. Aku harap, dengan hidup barumu, kau takkan melupakan sahabat lamamu ini. Selamat jalan sahabatku, Jepun. Rindu akan selalu menyertaiku, kala ku ingat dirimu, sayang.” kembali Melati tertunduk. Segera ia berbalik. Meninggalkan Jepun yang semakin renta.
            Jauh ia menyeret langkahnya, pergi meninggalkan kelopak Jepun yang kian menipis. Tapi, ia akan tetap berjanji, tak akan pernah menepis bayang, kisah, dan ingatannya, pada Jepun. Penopang laranya.   



oleh :
a a sagung dwi adnyaswari :)