gold krisan

sayapku yang dulu hendak rapuh, karena beberapa pias senja. tetapi kini, kembali tersadar, aku akan berbinar, tapi tentu tak kan gemerlap, bila kau tak bersama ku. sekarang. terimakasih untu kau yang kini mengisi babak baruku. terimakasih untuk semua.....

Minggu, 27 Maret 2011

cerita pendek. . . . . .


"HANYA UNTUK INDAH"


            Embun menetes perlahan melalui celah daunku. Dingin menusuk setiap ranting jiwaku. Angin pagi ini menggelayutkan kelopak cerahku. “kemana Melati ? bukankah seharusnya ia lebih awal bersorak ?” gumamku perlahan.
            Tuan Matahari telah menuaikan tugasnya membantuku siang ini. Tinggal ku tunggu majikan memberiku sepercik air segar pada akar ku.
            “hai Jepun ........” sapa Anggrek padaku yang tengah termangu. “hai juga....” sambutku lesu. “Anggrek. Apa kau dapat melihat Melati ? mengapa dari tadi tak ku temukan ? hanya batang kecilnya yang siap merekah. Bukankah ia sudah semerbak hari ini ?” kembali tanyaku terlontar. “ohh.... untuk itu. Memang sedari tadi aku pun tak mencium aromanya yang khas. Mungkin kemarin, ketika gelap, ia sudah terpetik majikannya. Sudahlah, untuk apa kau pikirkan teman kotormu itu. Hidupnya jauh dibawah. Terlunta pula. Lihatlah diriku yangbersih ini, jauh dari debu.” Jawab Anggrek angkuh, yang sama sekali tak melegakan Jepun. “baiklah. Mungkin memang benar.” Sambung Jepun  tertunduk lesu.
Pembicaraan mereka pun berakhir, ketika sang majikan memberi Anggrek vitaminnya.
            Disuatu senja yang memang sedikit mendung. Nampak Alamanda membuyarkan lamunan Jepun.
“kamu kenapa ? aku perhatiin, akhir-akhir ini jadi murung ?” ”Oh... tak apa. Aku hanya heran. Kemana sahabatku Melati ? bentuk kelopaknya tak dapat kutemui sejak empat hari yang lalu. Aku yakin, ia belum saatnya untuk dipetik” ” hhmm..... ternyata hal ini yang mengganggu pikiranmu. Sayangnya aku baru saja ganti pot hari ini. Maka jangan heran, karena aku tak dapat mengenali Melati, sahabatmu itu.” ”iya.. sudahlah. Tak apa.” tandas Jepun lemah.
            Hari terus berganti. Sudah berapa pucuk jepun yang tumbuh, sudah berapa kelopak yang terganti. Namun, tak pernah lekang dalam ingatannya. Tentang Melati. Sahabat yang sangat disayanginya itu.
            Jepun dan Melati merupakan satu kesatuan yang tak akan terpisah. Mereka saling melindungi dan melengkapi. Tak pernah kosong hari mereka. Mereka selalu mewarnai taman dengan kasihnya. Hidup berdampingan dan saling mengagumi.  Tapi kini berubah dengan sekejap. Semua sirna tanpa tujuan yang jelas. Melati hilang entah menuju fana mana, meninggalkan Jepun penuh tanya.
            Hingga suatu ketika. Nyonya Hujan sangat dermawan membagi bias-biasnya pada kaum bunga. Pak Angin pun menyumbangkan bayunya. Semua bersatu padu meniupkan pesona taman siang itu. Hiruk-pikuk menggema. Tak terkecuali Jepun. ”sungguh senangnya Nyonya Hujan siang ini. Tetapi ini lebih dari menyiksa. Oh tidak ! kelopakku gugur terbang dan menghilang !” pekik Krisan.
            Bunga-bunga lain turut meronta. Banyak dahan-dahan yang terputus. Bagai terombang-ambing dilaut lepas.
Lain halnya dengan Jepun. Ia tetap bertahan, walau daunnya yang tak bersalah lenyap diterpa Ibu Badai. Rantingnya tak sedikit yang patah. Namun tetap dalam benaknya tersirat, ”bagaimana denganmu Melati ? apa ada yang ’kan melindungimu saat ini ? andai kita bersama, kan ku raih kelopakmu, kita ’kan bersama melewati alur dengan Ibu Badai sebagai pilotnya. Andai kau dengar rintihan kekhawatiranku, dapatkah kau kembali disini.” Jepun tetap menggumam, walaupun terus berusaha menahan pedih karena terantuk Paman Kerikil.
            Akhirnya Ibu Badai, Nyonya Hujan, dan Pak Angin, kembali pada singgasananya semula.
Taman ini tampak hancur. Tak ada satupun bunga yang utuh. Perih.
            Mentari kembali hangatkan bumi. Sehari setelah Ibu Badai mengerang ganas.
            Kembali pada tokoh Melati, para pembaca.
Ia baik-baik saja. Sama sekali tak terganggu pada kemarahan Ibu Badai. Ia aman. Namun, ada yang menggores hatinya, ketika mengetahui tempat persemayamannya dulu terkena musibah tragis.
            Ketika ia hendak kembali pada taman kecilnya dulu. Langkahnya terhenti. Tertunduk, lesu, gemercik air mata menyadarkannya.
Ia tak mampu menopang kelopak kecilnya, ketika sebuah kelopak yang sama  kecilnya, usang, yang kian layu, nyaris hangus terbakar Tuan Matahari.
”Jepun....” katanya lirih. ”kamu......”sambungnya pedih.
” maafkan aku yang pergi tanpa pamit. Kau tahu sendiri. Aku bisa apa ? aku tak berdaya, ketika mereka memindahkan ku pada taman diujung kota sana. Selama ini aku tak punya waktu untuk menemuimu. Sampai kejadian ini merenggutmu, sahabatku. Maafkan aku yang terkadang egois. Maafkan ketidak sempurnaanku yang tak mampu mengimbangi kesempurnaan mu yang tulus, lembut, suci, indah, sederhana, dan tak banyak mengikat. Sedangkan aku. Aku hanya bunga tanah yang meminta perlindunganmu, kawan. Aku tak semegah Anggrek bagai berlian ditengah taman.
 Aku memiliki teman yang sama indahnya denganmu. Krisan namanya. Ia selalu melindungiku. Sama seperti dirimu dulu. Kelopaknya memang lebih besar, dari kelopakmu. Tapi cahayamu, jauh lebih terang didalam hati ini. Pelitamu takkan ada yang mengganti. Terimakasih untuk semua Jepun. Kini tenanglah dengan tunas barumu yang segera ditanam. Aku harap, dengan hidup barumu, kau takkan melupakan sahabat lamamu ini. Selamat jalan sahabatku, Jepun. Rindu akan selalu menyertaiku, kala ku ingat dirimu, sayang.” kembali Melati tertunduk. Segera ia berbalik. Meninggalkan Jepun yang semakin renta.
            Jauh ia menyeret langkahnya, pergi meninggalkan kelopak Jepun yang kian menipis. Tapi, ia akan tetap berjanji, tak akan pernah menepis bayang, kisah, dan ingatannya, pada Jepun. Penopang laranya.   



oleh :
a a sagung dwi adnyaswari :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar