gold krisan

sayapku yang dulu hendak rapuh, karena beberapa pias senja. tetapi kini, kembali tersadar, aku akan berbinar, tapi tentu tak kan gemerlap, bila kau tak bersama ku. sekarang. terimakasih untu kau yang kini mengisi babak baruku. terimakasih untuk semua.....

Rabu, 11 Mei 2011

CERPEN

“SAYANG UNTUKNYA”

Tujuh tahun sudah aku menjadi anak bungsu dikeluarga. Kini telah berakhir aksi manja bermanjaku karena kehadiran adik laki-laki lucu nan menggemaskan. Sempat tersirat dibenakku. Kasih sayang ibu, akan terbagi pada penghuni kecil rumahku itu. Bagaimana dengan aku ?
“ ibu ….. kapan adik besar ?”, tanya ku pada ibu disuatu pagi. “ tunggu…. Nanti juga bisa main sama-sama. ”, jawab ibu lembut. Adik kecil ku menghabiskan banyak waktunya di ranjang empuk. Kulitnya yang masih memerah, pipinya bak tomat, dan rambut tipis kepirangan. Hampir setiap jam ku hirup aroma minyak kayu putih dari tubuh mungilnya. ” cepet gede ya dik. Nanti kita bisa main bareng-bareng. ” kataku sambil mencium pipinya. Disudut mataku, ku temukan sosok ibu tersenyum melihat rutinitasku itu.
A A Ngurah Rai Sandi Yuda. Denpasar, 18 Oktober 2002. sekilas tentang adik laki-laki ku yang kini berusia sembilan tahun. Waktu merangkak cepat. Menggoreskan segala kenangan manis antara aku dan adik Turah.
Menggenggam jemari kecilnya untuk menuntun langkah nya dihalaman rumah. Mencoba tugas ibu, memberinya bubur. Tak sengaja memberinya biskuit hinga hampir tersedak. Serta tak lupa untuk mengabadikan kisah ini melalui jepretan yang kini terpajang disudut kamarku.
Turah kecil, ketika usianya masih balita, sangat memikat. ” lucu sekali. Putih yahh.... mirip bule. Persis dengan kakaknya. ” begitulah celoteh orang-orang ketika melihat sosok adik yang memang asli menggemaskan.
Ibu sengaja memajang foto ku yang berusia tiga tahun, disamping potret adik dengan umur yang sama. Tak dipungkiri. Wajah kami memang sama persis.
Tetapi, tahukah anda para pembaca ? semua karakteristik adik ku tadi berlaku di beberapa tahun silam. Kini ia telah duduk dibangku kelas tiga SD. Sifatnya berubah, jauh melesat dibanding ketika ia masih bisa ku timang. Kulitnya memang masih putih. Pipinya tak pernah mengempis, bibirnya tetap berwarna merah. Bulu matanya masih tetap selentik dulu. Tetapi....... sifatnya itu. Sama sekali tak bisa ditawar.
” Turah. . . . . . . . kembaliin pensilnya......! Turah. . . . . . . jangan disembunyiin bukunya......... ! ” ada saja kalimat seperti itu mewarnai rumah, akhir-akhir ini. Sungguh membuat kepalaku tak nyaman. Darahku serasa memuncak dibuatnya. Tak heran, ia mampu membuatku menangis hingga tak ingin keluar kamar. Ibu yang melihat tingkah anak-anaknya itu hanya menganggap suatu hal yang wajar. Tapi aku, sama sekali tak bisa menerimanya.
Pekerjaan rumah yang ibu guru berikan kepadanya sempat tak pernah dipatuhinya. Alhasil, ia pulang dengan raut dongkol pasca membersihkan kamr mandi. Adik ku yang mengaku tak lagi kecil itu, akhirnya hafal perkalian karena paksaan ku. ” ngakunya pinter ....... masak, perkalian aja gak hafal. Belajar sana ! ganggu aja. ” kalimat penuh ejekan ku tutup dengan juluran lidah. Semenjak itu, sudah jarang ia belajar disampingku. Mungkin takut dengan gertak sambalku. Rasanya surga dunia ketika giliran, adik terciprat kemaraham ibu sewaktu pulang kantor. ” Turah nggak boleh nakal lagi ! ibu kan tadi lagi rapat. Harusnya Turah bisa main sendiri. ” jelas ibu pada adik yang seketika membisu menahan tangis. Aku hanya terkikik geli dibalik pintu kamar.
Kemarahan ku memuncak ketika monster kecil itu merobek buku pelajaranku, dengan masalah sepele. Aku mencubit pipi dan lengannya hingga memerah. Yang aku tahu rasanya sangat sakit. Tetapi amarahku sudah terlanjur meluap. Sekitar empat hari, komunikasi antara kami terputus. Tak pernah aku berbicara dengannya. Berkali-kali ibu membujukku untuk memberinya jari kelingking. Tapi sikapku kukuh saat itu.
Hingga disuatu malam. Aku memang belum terlelap. Tiba-tiba ada yang membuka pintu kamarku. Dengan memicingkan mata, ku tangkap sosok kecil berbaju biru menghampiri ranjangku. Diambilnya bantal kecilku yang tak sengaja jatuh ke lantai, sosok kecil itu meletakkannya kembali diranjang. Wajah kecil itu semakin dekat dengan wajahku. Yappp....... bibir mungilnya mencium pipiku. Seketika ia berbalik, dan menutup kembali pintu kamar.
Ku coba pejamkan mata. Ku tangkap maksudnya tadi. Adik kecilku memiliki cara yang berbeda untuk meminta jari kelingking ku. Sikapku yang keterlaluan itu mungkin membuatnya menyesal.
Seberapa besar kesalahan mu. Jari kelingking ku masih tetap ada untuk memberi maaf padamu. Terimakasih adik kecilku sayang.




inilah pembaca sekalian. Topik pembicaraan ku tadi. Terlihat kah raut cerdiknya ?


Oleh:
A A Sagung Dwi Adnyaswari
Cerpen

”ENTAH LAH”

Siang ini tak ada yang istimewa. Tetap terik. Debu beterbangan memburu diantara hawa panas. Peluh ku menetes diantara sela-sela rambut tipis yang sudah tak beraturan. Aku kini diburu waktu. Sebentar lagi ekstrakurikuler dimulai. Sedangkan aku, masih kebingungan mencari tas sekolah yang tiba-tiba menghilang.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya tas merah marun itu nampak juga. ”Ahhh...... ini pasti ulah Pica. ” gumamku pelan.
Segera ku ayunkan langkah beratku menuju kelas atas, untuk bertemu teman-teman seperjuangan. Telah ramai rupanya. Berbagai aktivitas mereka tekuni.
Aku memilih duduk nomor dua dari depan.
”Hai Jose .....” sapaku pada seorang kawan disebelah.
Yang disapa hanya tersenyum kecil, kemudian kembali pada kesibukkannya.
Lama sekali waktu berdentang. Sudah lapar perutku rupanya. Jarum itu masih saja menunjuk angka empat. ”Masih satu jam lagi. Sabar....” hiburku dalam hati. Untung saja pembina hari ini tak membosakan.
Tiba-tiba saja aku melirik sebelah kanan. Ohh..... rupanya ada sepasang mata sedari tadi memperhatikanku. Siapakah gerangan. Entah lah. Kembali ku menopang dagu, pertanda bosan menghadang.
Yappp...... akhirnya. Hari ini usai juga. Letih rasanya. ”guling..... aku merindukanmu” sorak sorai ku tak terdengar.
Pengumuman pagi tadi membuatku tak semangat. Baru saja membuat janji untuk reuni dengan beberapa teman. Kini waktu liburku harus tersita dengan kegiatan melelahkan. Sangat disayangkan.
Yah... ku akui. Ini konsekuensi ku mengikuti ’Kelompok Pecinta Alam’, jadi semua kegiatannya, harus ku patuhi. Termasuk menjelajah berbagai perkebunan Sabtu besok. Lima hari yang akan membosankan.
Hari ini akhirnya tiba. Walaupun setengah hati, kaki ini sengaja ku tarik memasuki bus berkapasitas 45orang itu. Beberapa tempat duduk sudah ada pemiliknya. Kuputuskan untuk duduk sendiri. Karena, teman dekatku tak ada dalam ekspedisi ini.
Sepuluh menit berlalu. Aku termangu. Tatapan ku kosong. Melihat gedung sekolah sepi. Kaca bus ini sedikit berembun.
Terasa ada yang duduk disampingku. Jelas tersentak.
”Rega.... Boleh aku disini ?” tanya seseorang itu padaku.
Kupalingkan wajahku menuju arah suara itu. ”Hai Jose..... Boleh lah..” kataku sedikit senang.
Hampir saja aku melupakan temanku yang satu ini. Jose. Cowok baik nan pengertian. Sedikit tertutup. Akupun tak terlalu mengenalnya. Dia amat sangat baik, dengan kadar yang sangat tinggi. Sedikit tenang hatiku.
Aku ingin bercerita sedikit pembaca.
Jose Bernadate. Teman yang baru enam bulan ku kenal. Sosok yang ramah, pendiam, memiliki intelektual yang tinggi. Jarang sekali aku bertegur sapa dengannya. Tapi.... aneh. Setelah satu jam duduk disampingnya, membuat perasaanku tak menentu. Atau mungkin karena cerita-ceritanya yang sedari tadi dibagi padaku. Atau saran-sarannya yang menyentuh sumsum hati.
Aku engga tau.
Aku hanya bisa berharap. Dia disini untuk menemani lima hari kedepan. Karena, jujur saja. Hanya Jose yang kukenal baik disini.
Hari pertama ekspedisi. Kami dibentuk kelompok. Dengan sengaja aku meminta panitia, agar aku dan Jose dapat satu kelompok, menyusuri kebun bunga milik Nyonya Megalty. Untunglah..... panitia mengabulkan permohonanku.
Aku, Jose, dan tiga orang kakak kelasku mulai melakukan penelitiannya diantara bunga-bunga. Hal yang sama ku lakukan bersama Jose. Dia sangat telaten membantuku untuk sekedar menuruni lereng yang terjal. Membantu meraih tanganku saat bukit menanjak. Ataupun menuntunku saat menyebrang jembatan bambu.
”Jose. Boleh istirahat sebentar ?” tanyaku dengan nada memelas. Ia tak banyak berkata.
Ditariknya tanganku menuju gubuk mungil ditengah kebun bunga. ”Boleh. Tapi setelah ini kita lanjutin lagi ya....” ucapnya pada ku setelah mempersilakanku duduk disebelahnya.
Tak terasa. Dari hari ke hari telah dilalui. Aku sama sekali tak merasa bosan. Apa karena Jose ? entahlah......
Yang ku rasa, kini hanya kebahagiaan. Entahlah, dari mana akarnya.
”Tiga jam lagi kita berkumpul disini. Kalian boleh mengahabiskan waktu, sebelum kita kembali pulang. Ingat tiga jam lagi.” terdengar tegas perintah panitia pada kami.
Aku hanya duduk dibawah pohon cemara. Sambil sesekali memotret nuansa hijau dibawah sana. Sebelum seseorang menepuk bahuku.
” Rega....” sapanya. ”Iya..” jawabku singkat.
Jose menuntunku untuk mengikuti langkahnya. Aku pun menurut. Sekitar lima belas menit aku mengikutinya. Akhirnya sampai juga pada tempat yang dituju.
”Danau Lagacy namanya. Bagaimana menurutmu ?” tanya Jose padaku.
Aku tak mampu berkata apapun. Menatap danau itu. Indah. Sungguh. Jernih airnya. Tampak beberapa teratai bersemayam dipermukaannya.
Kami duduk ditepi danau. Menikmati kicauan burung. Membiarkan angin menerbangkan rambutku.
Aku diam. Jose pun diam. Kami sama-sama menikmati pemandangan yang tak jauh berbeda dengan lukisan itu.
Jose berdiri. Membetulkan letak topinya. ”Tunggu sebentar Rega. Jangan kemana-mana” suara lembutnya menyadarkan lamunanku.
Aku hanya tersenyum melihat langkahnya menuju arah utara.
Kembali Jose duduk disebelah ku. Aku menoleh menatapnya. ”Bunga Leticya namanya. Warnanya hanya ini. Setiap aku melihatmu, aku teringat pada bunga ini. Simpanlah, bunga ini tak akan pernah layu.” Jose memberi bunga sejenis Krisan berwarna merah muda itu padaku. Aku meneliti bentuknya. Leticya. Nama yang indah. ”Terimakasih.......” aku hanya membalas singkat.
Kembali Jose tersenyum padaku. Senyum yang khas. Tentu, hanya Jose pemiliknya.
Tiga hari berlalu setelah ekspedisi itu. Aku dan Jose semakin dekat. Kami sering bertukar pikiran. Sekedar bercerita kegiatan kami masing-masing. Ia pribadi dewasa yang menyenangkan. Nyaman berada didekatnya.
Pica hanya tersenyum, saat aku membuka kotak persegi diatas meja belajarku. ”Bunga Leticya namanya.....” jelasku pada Pica. ”Warnanya cantik...” lanjutnya. ”Yah..... Jose yang memberinya” kembali aku berkomentar.
Aku tak tahu apa yang terjadi kini. Antara aku dan Jose. Kami dekat, kami saling mengenal masing-masing. Tak terpikirkan olehku sebelumnya. Ternyata saat pertama kali bertemu, sesorang yang rajin memperhatikanku adalah Jose (bukannya G.R, itu kata Pica.) Seseorang yang tak diduga. Datang disini, akankah ia kan menetap ?.
Sampai kini, aku tak menemukan jawaban yang pasti dari Jose.
Akankah Jose Bernadate dan Rega Walisdie bersatu ?
Sudah lama ku menanti dirimu
tak tau sampai kapankah.
Sudah lama kita bersama-sama tapi segini saja kau.
Entah sampai kapan.
Entah sampai kapan.
Hari ini ku akan menyatakan cinta, nyatakan cinta.
Aku tak mau menunggu terlalu lama, terlalu lama.
Sadarkah kau, ku adalah wanita. Aku tak mungkin memulai.
Sadarkah kau,
kau menggantung diriku, aku tak mau menunggu.
(vierra)


Entahlah...........................



ole :
adnyaswarii..

Senin, 09 Mei 2011

hahaha....
kirain kamu menghilang.
uda melemah nadiku e...
maaf ya aku cuek. itu respon yang saya punya
ternyata.....
kamu gga kemana-mana.